Hamparan Nusantara telah kita aminkan bersama sebagai satu Indonesia. Konsep ini telah tercetus oleh seorang mahapatih Gajah Mada bahkan sebelum Indonesia itu sendiri ada. Kini dalam kedigdayaannya di tahun yang ketujuh puluh lima, Indonesia mulai dewasa sebagai bangsa maupun negara.

Dalam usia kedewasaannya, Indonesia diuji dengan adanya Virus Korona. Virus yang menjadi pandemi global ini berimbas pada semua sektor kehidupan manusia. Tak luput sektor pangan, salah satu sektor vital yang terkena dampaknya. Bahkan, FAO (Food and Agriculture Organization)sendiri telah mengonfirmasi kemungkinan krisis pangan dunia akibat Virus Korona.Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia yang merupakan negara agraris ternyata masih mengimpor beras dari negara lain. Impor beras dari negara Thailand, Vietnam maupun Pakistan jumlahnya tidak main-main. Maka ketika impor mesti dihentikan akibat pandemi, Indonesia dituntut untuk berstrategi.

Pemerintah cepat bereaksi dengan mengeluarkan Program Strategi Nasional (Stranas) Food Estateatau Lumbung Pangan Baru. Proyek ini dipercaya mampu menjadi asuransi ketahanan pangan Indonesia. Program yang tentunya memerlukan lahan berlimpah ini menyasar Kalimantan Tengah sebagai salah satu tempat pembangunannya.

Dari awal kemunculannya, banyak nada sumbang yang bergaung di media sosial. Pelbagai petisi dan kampanye untuk menolak proyek food estate begitu ramai diperbincangkan. 

Seburuk itukah proyek food estate

Rupanya, food estate bukanlah barang baru bagi pemerintah Indonesia. Proyek food estate pernah hadir dalam wujud PLG (Pengembangan Lahan Gambut) besutan mantan presiden Soeharto. PLG berhasil membabat ribuan hektar lahan gambut namun sangat gagal mencapai tujuan utamanya. Alih-alih terciptanya lumbung pangan, proyek ini malah menyisakan lahan tak subur yang rapuh. PLG akhirnya diberhentikan karena krisis moneter pada tahun 1998.

Namun, dampak negatif yang dihasilkannya tidak pernah berhenti. 

Seperempat abad semenjak PLG dimulai tahun 1995, masyarakat Kalimantan Tengah makan asap tiap tahunnya. Lahan gambut bekas PLG yang dipaksa kering untuk mencetak sawah, menjadi titik api di tiap musim kemarau. Kalimantan Tengah seperti berlangganan karhutla, tidak pernah absen.

Pada tahun 2015, tercatat  60.225 jiwa terjangkit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) menurut BNPB. Jumlah ini baru di provinsi Kalimantan Tengah saja. Belum termasuk Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat serta Kalimantan Selatan.

Proyek PLG yang pailit ternyata berbuah begitu pahit. Jangankan hak berbicara, hak bernafas saja mampu ditiadakannya. Pidana perkara karhutla tidak pernah final, pelaku sesungguhnya belum terjejal. Petani kecil dan warga desa sekitar hutan yang malah masuk jeruji besi.

Kemudian di tahun 2020, pemerintah kembali menawarkan  skenario serupa seolah tanpa dosa!

Akoi, wajar saja kepercayaan masyarakat menjadi kering, sekering lahan gambut yang ditinggalkan pemerintah. Masyarakat mengalami krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan yang sebenarnya berbahaya apabila dibiarkan.

Namun, marilah kita coba tepis krisis kepercayaan dan trauma yang kita alami dan melihat proyek food estate dari sudut pandang netral.

Dalam tahun kedigdayaannya yang ke-75, apakah Sabang sampai Merauke sudah berdigdaya secara merata? Jawabannya tentu saja belum.

Indonesia yang memiliki lima pulau raksasa selama ini hanya menganakemaskan pulau Jawa. Keempat lainnya seolah menjadi anak tiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia seringkali masih bersikap Jawa sentris, pembangunan di dalam dengan di luar pulau Jawa jomplang perbedaannya. Dan food estate, sebenarnya adalah salah satu cara untuk meniadakan ketimpangan itu. 

Kita semua menginginkan perubahan, namun siapakah yang siap untuk berubah?

Food estate sebenarnya mengajak kita untuk siap menghadapi perubahan. Siap menyongsong Kalimantan Tengah yang selangkah lebih maju. Kalimantan Tengah akan segera menjadi kawasan yang vital mengingat pindahnya ibukota provinsi tetangganya. Tugas kita bersama untuk mempersiapkannya.

Sesungguhnya,  program food estate tidak seburuk kesan pertamanya. Jika kita meneganl dan memahaminya lebih jauh, ternyata food estatebukanlah proyek cetak sawah macam PLG.

Dilansir dari diskusi GERDAYAK (Gerakan Pemuda Dayak) bersama pakar, praktisi dan akademisi pada Senin, 22 Juni 2020 silam, disimpulkan bahwa proyek food estate tidak membuka lahan baru. Proyek food estateberfokus pada memaksimalkan lahan-lahan berkepimilikan yang tidak produktif. Proyek mengembangkan lahan milik warga dan menyuplai kebutuhannya. Win-win solution. Warga dapat mengolah lahannya dengan bantuan pemerintah, target pemerintah dalam food estate juga tercapai.

Apabila nanti lahan baru ternyata tetap perlu dibuka, lahan dipilih yang bergambut tipis. Food estate juga menyediakan sistem pengairan terpadu sehingga risiko kekeringan dapat diminimalisir.

Roda ekonomi berputar, lapangan pekerjaan baru terbuka. Apakah akan dilakukan transmigrasi tenaga kerja seperti pada PLG dulu?

Proyek food estatemengutamakan warga setempat untuk direkrut. Apabila masih kurang, barulah sumber daya manusia dari luar pulau didatangkan. Pekerja yang didatangkan pun tidak sembarangan, harus merupakan ahli di bidang pertanian. 

Ke depannya, pasti akan banyak sosialisasi dan pelatihan terkait proyek lumbung  pangan baru ini. 

Maka apakah food estate sebuah peluang atau tantangan?

Food estate adalah keduanya. Peluang yang penuh tantangan. Tantangan yang memiliki banyak peluang. Bagaimana meresponnya, semua tergantung pada pribadi masing-masing.

Suara-suara kita ini kecil kemungkinannya untuk mengubah pikiran mereka-mereka yang memegang jabatan. Namun sesungguhnya, keberhasilan proyek food estate kita sendiri yang menentukan.

Mari bersama kawal proyek food estate. Kalimantan Tengah yang lebih baik, Indonesia maju!

Ditulis oleh Ivonne Hana Vidhia Putri @ivonneha_

2019-06-22 06.55.54 1.jpg

Comment